Spirit Ukhuwah Yang Hilang


Makalah ini adalah terjemahan dari kata pengantar yang ditulis oleh Dr. Amir Faishol Fath untuk buku ad-Dakwah al-Islamiyyah Faridhah Syariyyah Wadharurah Basyariyah karangan Dr. Shadiq Amin. Buku ini juga diterbitkan semula oleh Al-I'tishom pada tahun 2006 berjudul Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal. Saya kongsikan makalah ini sebagai salah satu sumbangsih upaya ukhuwah jamaah-jamaah yang sedang berdakwah di bumi Allah Malaysia ini. Ulasannya sangat menarik kerana sang penulis berusaha menggambarkan pada adanya jauh dari ruh fanatisme golongan ketika berbicara mengenai hakikat setiap gerakan dakwah.

Panjang. Ya, kenalah rajin sedikit.

+++

Banyak cerita di tengah pergumulan realitas umat Islam, mengenai berbagai hal yang menggambarkan bahwa umat ini masih sangat sulit untuk bersatu. Seringkali, secara individu mahupun kolektif, ketika seseorang bergabung dengan jamaah tertentu ia bersikap menjelek-jelekkan jamaah yang lain. Padahal secara prinsip perjuangan, semua jamaah yang ada mengaku berdakwah di jalan Allah. Hanya saja masing-masing mempunyai titik tekan tertentu dalam dakwahnya, tergantung dari cara pendekatan yang ditempuhnya.

Ada sebuah jamaah yang lebih mengutamakan pada tabligh, dengan cara jaulah dari masjid ke masjid. Mereka membangun kebiasaan supaya setiap anggotanya benar-benar tidak hanya mencintai masjid melainkan juga menghidupkannya. Banyak masjid yang tadinya mati di sebuah perkampungan yang sangat terpencil, bisa menjadi hidup kembali karena jamaah ini. Para aktivis jamaah ini memang sangat menghindari permbicaraan mengenai politik. Tema utama halaqah mereka berkisar mengenai bagaimana makna la ialah illallah benar-benar terhunjam dalam dada.

Rata-rata mereka dari kalangan orang-orang yang berpengetahuan sederhana, tetapi semangat mereka untuk mengajak orang lain agar mencintai Allah sungguh tak terhingga. Dengan bekal ilmu seadanya mereka memberanikan diri untuk berdiri di depan khalayak –terutama sehabis shalat berjamaah- menyampaikan makna la ialah illallah sebagai fondasi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kalimat pengantar yang seringkali mereka ulang-ulang setiap kali hendak menyampaikan tausiyah adalah: inna najaahana wa falaahana fiddunya wal akhirah biqadri a’malina bi la ilaha illallah (sesungguhnya kesuksesan dan kebahagiaan kita di dunia dan akhirat tergantung pada kesungguhan kita dalam mengamalkan makna la ialah illallah).

Pernyataan ini benar. Sekalipun tampak sederhana, tetapi kandungannya sangat mendasar. Banyak orang Islam yang hanya mengakui makna la ialah illallah, tetapi pada kenyataannya sehari-hari, Allah selalu dinomorduakan. Halal haram yang Allah tentukan tidak dindahkan. Shalat seringkali diakhirkan karena kesibukan dan aktivitas lainnya. Antara perbuatan dosa dan taat berjalan seirama. Antara ikut Allah dan ikut syetan sama-sama dijalani. Kalimat la ialah illallah tentu memang harus selalu diulang-ulang. Hakikat pemahaman yang benar terhadap kalimat tersebut sangat mempengaruhi kesungguhan seseorang dalam menjalankan identitas kehambaannya kepada Allah.

Bagi mereka, penampilan pakaian dan gaya bedakwah tetap dengan gaya tradisional. Memakai serban dan jubah yang modelnya seperti baju tradisional Pakistan. Dan memang jamaah ini berasal dari India-Pakistan. Sebagaimana penampilan orang Pakistan pada umunya, jenggot para aktivisnya selalu panjang. Tidak seperti gaya orang-orang modern yang serba bersepatu dan berdasi. Tetapi mereka tidak sibuk dengan menghakimi sana-sini. Bagi mereka, dakwah bukan untuk menghakimi melainkan memperbaiki. Memang ilmu syariah dan keislaman yang mereka kuasai tidak banyak. Mereka hanya memiliki semangat mengajak kepada ketaatan. Setiap kali bertemu dengan sesama muslim, mereka selalu tampil pernuh persaudaraan, cinta dan hormat.

Banyak orang yang sebelumnya preman, rusak secara moral, dan seringkali mabuk-mabukan, tertarik dengan dakwah mereka yang sangat sederhana. Mereka turut aktif berdakwah dari masjid ke masjid. Orang-orang Barat pun banyak yang tertarik dengan dakwah mereka. Sekali lagi, mereka tidak membicarakan masalah-masalah politik sama sekali. Mereka hanya sibuk mengurus bagaimana supaya kecintaan kepada Allah dan sesama muslim benar-benar terbangun. Lihatlah suasana kedamaian dan keikhlasan yang selalu terpancar dari wajah mereka. Tidak ada dalam diri mereka permusuhan terhadap sesama muslim. Mereka telah mempunyai komitmen kesadaran yang kokoh akan makna persaudaraan yang saling mencintai dan saling menghormati.

Memang banyak sisi yang mereka abaikan secara konseptual. Sebut saja sisi dakwah lewat sarana lain yang sangat banyak, seperti politik, media komunikasi, ekonomi, dan lain sebagainya. Mereka hanya mengkonsentrasikan diri pada sisi tabligh dari masjid ke masjid. Padahal, permasalahan terbesar yang dihadapi umat Islam di setiap zaman adalah tekanan politik yang bersifat internasional.

Ambil contoh, misalnya masalah Palestina. Masalah ini tentu saja tidak bisa diatasi hanya dengan dakwah seperti yang mereka lakukan. Terlebih lagi, untuk menghadapi seranngan kaum Yahudi yang multidimensional. Namun demikian, harus diakui bahwa peran mereka telah menutupi satu sisi yang tidak ada pada jamaah lainnya.

Menariknya, para aktivis jamaah ini mengakui kekurangan yang mereka miliki. Bahwa, bagian mereka adalah menangani sisi-sisi yang tidak tersentuh oleh jamaah lain. Karenanya, mereka tidak mengikat anggotanya untuk aktif di berbagai instansi apa pun atau mendukung partai apa pun yang menurut mereka paling baik dan brpotensi mewujudkan cita-cita Islam. Tidak tampak dari mereka sikap fanatik sampai ke tingkat memusuhi jamaah lain. Ini pelajaran yang sangat mahal dan penting untuk kita acungkan jempol. Sebab, kekurangan yang banyak terjadi pada berbagai aktivis jamaah adalah sikap fanatik dengan cara memusuhi dan menjelek-jelekkan jamaah lain.

Ada sebagian jamaah yang sibuk mengrus pembinaan akidah dengan kembali pada pemahaman nash-nash hadits secara ketat. Hadits-hadits Rasulullah mereka tahqiq. Banyak hadits-hadits yang tadinya tidak diketahui kedudukannya, melalui perjuangan jamaah ini menjadi terkumpul secara jelas, antara yang shahih dan yang dhaif. Bagi mereka, kembali pada tuntunan Rasulullah, sekecil apa pun adalah suatu keharusan. Karenanya, mereka selalu meng-counter fenomena apa saja yang di mata mereka tidak ada nashnya dari Rasulullah SAW.

Sudah barang tentu, langkah semacam ini adalah sikap yang mulia. Tetapi, tidak semua perkembangan hidup manusia di sepanjang masa akan ter-counter secara lengkap dan detail di zaman Rasulullah saw. Banyak hal yang memerlukan ijtihad-ijtihad baru. Karenanya ulama-ulama fiqih bermunculan dalam sejarah.

Para ulama tersebut telah melahirkan dokumentasi fiqih yang sangat luas jangkauannya. Sayangnya, jamaah ini sering mengabaikan warisan intelektual yang demikian bermakna dalam sejarah ini. Bila kemudian pendapat-pendapat para ulama tersebut diabaikan, dengan alasan bahwa kita sudah mempunyai teks hadits langsung dari Rasulullah saw berdasarkan pemahaman yang kita miliki, pantaskah pemahaman yang kita punya ini, dianggap memenuhi syarat untuk menandingi pendapat para ulama itu? Lalu, mahu dikemanakan ensiklopedia fiqih yang sangat spektakuler, yang telah dibuat oleh para ulama sepanjang sejarah? Apakah para ulama sebodoh kita sehingga mereka tidak mengetahui hadits-hadits yang kita punya?

Comments

Popular posts from this blog

Rasa Semakin Jauh dari Allah?

Mereka yang Mengabaikan Al-Quran

Merasakan Hidup Tidak Bermakna?