Spirit Ukhuwah Yang Hilang (2)


Kembali kepada tuntunan Rasulullah saw secara murni –saya yakin- itu adalah kesepakatan semua jamaah yang ada. Tetapi, keharusan memahami maksud teks-teks ayat dan hadits-hadits berdasarkan ilmu yang luas dan intelektual yang mumpun adalah juga syarat mutlak yang tidak bisa dihindari. Karenanya tidak cukup seseorang hanya berpegang pada satu teks lalu merasa satu level dengan para ulama yang telah menghafal ribuan hadits. Di saat yang sama juga tidak cukup seseorang dengan hanya bermodal teks dan terjemahannya serta dengan kemampuan inteletualitas yang tidak mumpuni (baca: mencapai derajat mujtahid) lalu merasa tidak perlu merujuk pendapat para ulama. Sebab, perlu diketahui bahwa tidak semua ahli hadits menjadi ahli fiqih, dan tidak semua ahli fiqih menjadi ahli hadits. Apalagi kita yang tidak pernah mencapai derajat ahli hadits maupun ahli fiqih.

Semangat yang menggebu-gebu dengan bekal ilmu pas-pasan seringkali membuat anggota jamaah ini mudah menganggap sebuah fenomena yang tidak ada teksnya dari Rasulullah saw sebagai bid’ah. Beberapa buku tentang bid’ah mereka tulis secara gencar. Berdasarkan buku-buku tersebut para aktivisnya sangat bersemangat melakukan serangan terhadap jamaah lain, baik secara individu maupun kolektif.

Saya sering mendengar insiden bahwa mereka tidak mahu mendegarkan khutbah atau pengajian jika orang yang menyampaikannya bukan dari golongan mereka. Alasannya, orang itu termasuk ahlu bid’ah. Padahal Rasulullah saw sangat menghormatri majelis ilmu. Apalagi yang dipelajari dalam majelis itu ajaran Islam, yang sesuai dengan al-Quran dan al-Sunnah. Bukankah sikap yang sungguh menyakitkan hati banyak orang tersebut bertentangan dengan hadits Rasulullah saw? Apalagi benar menurut Islam sikap mengajak kembali ke sunnah dengan cara menetang sunnah?

Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menulis buku dengan tujuan untuk menjatuhkan para ulama dari jamaah lain. Kata-kata dan istilah yang mereka gunakan sampai ke tingkat pengkafiran. Apakah cukup alasan untuk memusuhi sesama muslim hanya karena perbedaan ijtihad? Memang, semakin ekstrem seseorang dalam menyikapi teks, ia pasti akan semakin kaku. Kekakuan ini otomatis akan diikuti dengan tindakan-tindakan yang konfrontatif. Padahal, seandainya ia mengambil langkah yang lebih bijak, dengan cara memperbaiki misalnya, atau berdialog secara kekeluargaan dan penuh persaudaraan, itu lebih baik.

Namun karena sudah diawali dengan sudut pandang negatif pada kelompok lain, akibatnya tampak sulit untuk menempuh cara yang lebih bernuansa ukhuwah. Padahal, kalau mahu jujur, sebenarnya spirit dakwah al-Quran adalah membangun persaudaraan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah besaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” [QS Al-Hujurat, 49:10]

Sepanjang hidupnya, di tengah-tengah sahabatnya, Rasulullah saw memperbaiki yang salah, bukan menghakimi atau memusuhi mereka. Rasulullah saw selalu menekankan persaudaraan sesama muslim.

Saya tidak yakin ada satu ayat atau hadits yang mengizinkan seseorang memusuhi sesama muslim hanya karena perbedaan jamaah atau organisasi? Orang-orang kafir saja selalu bersatu, saling menolong, dan saling melengkapi apa pun organisasinya. Masaka kita yang sesama mukmin, hanya karena bebeda organisasi, membenarkan sikap saling bermusuhan di antara kita?

Ajaran Islam yang mana yang mengizinkan demikian? Apa memang demikian tuntunan Rasulullah saw untuk menyikapi sesama muslim? Bukankah Allah yang disembah sama? Bukankah kiblat shalatnya sama? Kepada Firaun saja, contoh manusia paling kafir, Allah masih menyuruh Nabi Musa dan Nabi Harun agar menyampaikan teguran dengan baik dan lembut. Bukan dengan cara kasar dan menyakitkan hati. Apalagi sesama muslim. Dan ini ajaran Allah. Maka, ajaran siapa yang melebihi ajaran Allah? Sungguh aneh, jika hanya karena fanatisme golongan, seseorang berani melanggar ajaran Allah, atas nama dakwah kepada Allah. Benarkah Allah mengizinkan berdakwah kepada Nabi-Nya dengan cara melanggar ajaran-Nya.

Sebagian jamaah ada yang hanya sibuk berasyik mansyuk dengan ibadah ritual. Mereka duduk di pojok masjid dengan tasbih panjang, mulutnya berkomat-kamit dengan zikir, sementara urusan dunia mereka abaikan. Tidak sedikit dari mereka yang sampai lupa diri, tidak makan berhari-hari, dan itu dianggapnya sebagai puncak pencapaian ruhani. Istri dan anak-anak mereka terbengkalai. Bukan hanya itu, mereka seringkali menari-nari dan berputar-putar sepanjang malam dengan alasan bermunajat kepada Allah. Lebih aneh lagi, banyak dari kalangan mereka yang menafsirkan al-Quran dengan pendekatan isyari (simbolik). Kalimat demi kalimat dalam setiap ayat tidak lagi difahami secara zahir, berdasarkan makna bahasa Arab yang asli, melainkan sebagai simbol dari makna ruhani yang mereka fahami. Akibatnya ayat-ayat al-Quran di mata mereka bukan lagi susunan kalimat yang bisa digali maknanya berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab yang baku, melainkan semata-mata susunan simbolisme yang maknanya sudah mereka persiapkan dalam persepsi ruhani yang mereka capai. Para ahli tafsir dan pakar Ulumul Quran banyak menolak cara penafsiran seperti ini.

Islam yang diajarkan Rasulullah saw adalah Islam yang hidup. Hidup di dalam ruhani dan hidup di alam nyata. Seluruh sikap dan akhlak Rasulullah saw adalah cerminan Islam. Rasulullah saw menegakkan shalat malam sampai bengkak kakinya, tetapi ia juga berjihad, berdagang, berkeluarga, berbaur dengan sahabat-sahabatnya, mengurus Negara dan lain sebagainya. Gambaran Islam yang dibawa Rasulullah saw tidak semata berupa ritual, melainkan mencakup seluruh dimensi kehidupan. Para ulama mengatakan bahwa semuanya di dalam Islam ada aturannya, mulai dari masuk kamar mandi sampai urusan Negara. Benar, menyucikan jiwa di dalam Islam adalah ibadah yang sangat penting dan menentukan. Namun dengan hanya berhenti di titik tazkiyatun nafs adalah sikap yang menyimpang dari ajaran Islam, sebab Islam diturunkan bukan hanya untuk itu, melainkan untuk membimbing manusia dengan segala dimensi kehidupannya.

Ada sebagian jamaah yang aktif mempromosikan berdirinya khilafah. Di depan mata mereka tergambar bahwa hilangnya kekuatan umat Islam adalah karena tidak adanya khilafah, yang menjadi wadah politik untuk menegakkan ajaran Islam. Dalam rangka itu, aktivis jamaah ini sibuk menyebarkan berbagai kajian pemikiran supaya umat Islam benar-benar terbuka secara wawasan, dan memiliki pengetahuan secara mendalam mengenai berbagai hal. Terutama mengenai pemahaman tentang Islam dan berbagai permasalahan intelektual yang dihadapi.

Namun perlu diketahui bahwa permasalahan umat Islam bukan hanya persoalan intelektual. Umat Islam juga memerlukan tarbiyah untuk menuju ke titik khilafah. Khilafah yang pernah muncul dalam sejarah tidak berangkat dari nol (kosong), melainkan dari perjuangan panjang dan pembinaan yang tidak kenal lelah. Tampaknya jamaah ini kurang memperhatikan sisi ini. Akibatnya, ikatan di antara anggota jamaah lebih bersifat emosional. Tetapi, secara kontribusi di medan dakwah, jamaah ini cukup kuat untuk meng-counter berbagai aliran pemikiran yang menyimpang di tengah masyarakat Islam. Langkah ini sangat menarik untuk kita akui sebagai terobosan yang tidak dimiliki oleh jamaah lain.

Benar, diakui atau tidak, memang ada pendapat-pendapat fiqih dari sebagian tokoh pendiri jamaah ini yang sungguh sangat bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama umat Islam. Dan kelemahan ini sebenarnya telah mencoreng nama baik jamaah yang mencitakan lahirnya kembali khilafah Islamiyah. Banyak orang yang alergi dan memandang aneh ketika melikat pernyataan-pernyataan fiqih mereka. Bagaimanapun juga kenyataan ini tetap tidak bisa dimungkiri karena sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan jamaah ini.

Namun yang terpenting adalah bagaimana kehadiran jamaah ini menjadi bagian dari sinergi untuk menutupi kekurangan yang dimiliki jamaah lain, bukan untuk membesarkan dirinya lalu memusuhi yang lain. Sayangnya, realitas di lapangan tidak demikian. Banyak dari oknum yang terlibat secara aktif, seringkali berusaha merendahkan jamaah lain dengan maksud membesarkan jamaahnya sendiri. Jika demikian, apa pun cita-cita baik yang didengungkan, jika sebuah jamaah dilihat hanya dari sisi negatifnya, maka akan penuh dengan kekurangan.

Bila sikap tersebut terus diambil oleh aktivis sebuah jamaah, sampai kapan pun umat ini akan terus terombang-ambing dalam kebingungan. Akibatnya, jamaah yang terkait bukan menjadi solusi, melainkan malapetaka yang akan menambah beban sejarah. Dan tidak mustahil perbedaan antara jamaah akan dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk menyulut permusuhan dan adu domba. Bila ini yang terjadi kelak siapakah yang akan bertanggung jawab? Apakah kita cuci tangan, dan sibuk saling menyalahkan?

Comments

Popular posts from this blog

Rasa Semakin Jauh dari Allah?

Mereka yang Mengabaikan Al-Quran

Merasakan Hidup Tidak Bermakna?