Salah Menanam Cinta
Oleh: Panggih Waluyo
Di dalam sebuah kamar bercat merah jambu, menangislah seorang anak
muda belia, pelan namun lama kelamaan semakin mengeras. Sudah beberapa
kali ibunya mengetuk pintu kamar itu, tapi tidak juga ia hiraukan.
Hingga terasa habis air matanya, ia masih terbayang bagaimana kedua
orangtuanya melarangnya untuk memakai jilbab.
Tidak cukup sampai disitu, anak itu juga pernah mengajukan permintaan
kepada nenek kesayangannya, namun lagi-lagi larangan dan omelan pula
yang ia dapatkan dari nenek kesayangannya itu. Tidak ada pihak yang
membelanya.
Betapa tersiksanya rasa batin anak itu ketika keinginannya untuk
mencontoh seorang ibu guru sekolahnya yang memakai selalu jilbab,
mendapat larangan oleh orang-orang terdekatnya.
Sampai, beberapa hari ia hanya mengurung menyendiri di kamar…, hingga di suatu sore, …tok-tok…tok…, pintu kamarnya ada yang mengetuk, ternyata ia dipanggil oleh ibunya dan memberitahu kepadanya bahwa ada seorang ustadz datang khusus untuk membahas permintaannya selama ini.
Dengan penuh harap, akhirnya anak itupun mau keluar…, duduk di
samping bapak dan ibunya menghadap sang ustadz yang telah menunggunya.
Spontan, ibunya berkata kepada sang ustadz…"ini ustadz…anak saya yang
ingin sekali memakai jilbab…" Lalu sang ustadz pun dengan senyum santun
menyapa…, "Joko anak yang sholeh…, memakai jilbab itu memang wajib tapi
hanya khusus untuk anak perempuan, jadi tidak boleh anak laki-laki
memakai jilbab, ini saya belikan peci yang bagus buat Nak Joko…"
***
Sekilas, cerita di atas amatlah menggelikan. Namun jika kita sejenak
merenung, sebenarnya tak jauh bedanya dengan keadaan kita sebagai ummat
muslim di saat ini. Kita mengaku-ngaku ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam…,
mengaku-ngaku mencintainya, namun ternyata perilaku kehidupan kita
sehari-hari malah meniru idola-idola murahan lainnya, seperti selebriti
atau artis dan sebagainya.
Sebagai contoh Rasulullah SAW menganjurkan agar kita memelihara
jenggot dan mencukur kumis kita misalnya, namun dengan bangganya kita
menghabis-bersihkan jenggot kita dengan seribu alasan. Tak beda dengan
cerita Joko di atas, sudah jelas-jelas laki-laki namun masih saja
bersikukuh ingin mengenakan jilbab, ternyata ia salah mengidolakan ibu
gurunya.
Kita selama ini serasa sudah kehilangan figur manusia agung itu, manusia yang ma’shum,
manusia yang menyimpan tak terhitung teladan terbaik di sepanjang masa.
Baik beliau sebagai ayah, sebagai panglima perang, sebagai seorang
suami, sebagai seorang pemimpin dan sebagainya. Tidak ada yang tersisa
satupun akhlak kebaikan yang tidak pernah beliau contohkan kepada
ummatnya.
Sampai-sampai Allah menyampaikan hal tersebut dalam firmanNya :
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab [33] : 21)
Namun entah mengapa, sosok cahaya agung itu kini hanya banyak
terpampang di hiasan dinding masjid dan rumah kita. Lalu hilang di saat
kita menjalani berbagai aktivitas di kehidupan kita. Tak nampak dalam
tata cara pergaulan, adab di perjalanan, di saat mencari rezeki dan
berbagai macam kegiatan keseharian kita.
Mungkin karena selama ini kita lebih mencintai tayangan televisi atau
mungkin berbagai media yang memberitakan selebriti terkini daripada
membaca Sirah Nabi (cerita perjalanan nabi), sehingga muncullah sosok
idola pengganti.
Kita lebih mengerti kehidupan mereka walaupun jauh dari tuntunan
Islam dibanding kehidupan Rasulullah SAW yang jelas setiap jengkal
langkahnya menunjukkan kita kepada nikmat syurgaNya.
Saudaraku, sejenak pejamkanlah mata, lalu bayangkan seandainya
Baginda Rasulullah SAW yang mulia hadir di sini. Lalu menyaksikan
keadaan ummatnya saat ini. Betapa sedihnya beliau, jika beliau telah
mengkhawatirkan kita jauh di lima belas abad yang lalu…namun kita kini
dengan bangganya menapaki jalan-jalan yang mengantarkan pada kemurkaan
Allahu ta’ala dan enggan menapaki jalan yang telah Rasulullah SAW
contohkan.
"Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang saya khawatirkan atas
kalian, tetapi saya khawatir terhampar luas bagi kalian dunia ini,
sebagaimana telah terhampar pada orang-orang sebelum kalian. Kemudian
kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba sehingga
membinasakan kalian, sebagaimana telah membinasakan mereka." (HR Bukhari, No. 5945, Muslim)
Saudaraku, mencintai Rasulullah SAW jelas tak cukup dalam lisan atau
sekadar perayaan rutin Maulid semata…, mencintainya adalah bagaimana
kita berusaha untuk mengamalkan sunnah-sunnahnya.
Sholat berjamaah ke masjid bagi para laki-laki misalnya atau berbagai
amalan yang telah beliau contohkan, dari urusan terkecil yaitu adab ke
kamar mandi hingga mengurus sebuah negeri. Mari duduk dan hadapkan diri
di depan cermin kejujuran yang paling jernih, lalu tataplah wajah kita
masing-masing, pantaskah kita disebut sebagai ummat Nabi SAW yang agung
itu?
Atau jangan-jangan cinta kita selama ini hanya sebatas lisan semata, membenci Ahmadiyah misalnya, yang telah terang-terangan menggantikan Rasulullah SAW dengan nabi palsunya namun dengan diam-diam kita sendiri telah menggantikan Rasulullah SAW dengan sosok idola lain dalam setiap nafas dan langkah kita. Na’udzubillahi mindzalika.
Comments
Post a Comment