Sirah: Abu Dzar Al-Ghifari

Assalamualaikum.

Peribadi hebat. Yang sepatutnya kita menjadikan dia sebagai contoh untuk menjalani kehidupan selepas Rasulullah dan rasul-rasul dan para nabi yang lain. Adalah para sahabat Rasulullah SAW. Bukannya para menteri, raja-raja, artis-artis yang mengarut je kerja dia dan lain-lain. Kerana Rasulullah SAW telah bersabda,
“Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang sesudahnya, dan orang-orang sesudahnya lagi. Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” 
[HR Al-Bukhari]  
Dan, tidak pernah pula kita terlupakan firman Allah dalam surah al-Qalam, ayat ke-4

وَإنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

"Dan bahawa sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai akhlak yang agung. "
[Surah Al-Qalam, 68: 4]

Jika seorang budak kecil yang tidak tahu apa-apa, menyatakan tentang kehebatan sesuatu perkara, mungkin sahaja kehebatan dari matanya itu bukanlah satu kehebatan pada kita. tetapi, Namun, jika Allah yang Maha Agung telah menyatakan tentang kehebatan sesuatu perkara, tentunya perkara itu memang sangat-sangat hebat.


+++

Lembah Waddan yang menghubungkan kota Makkah dengan dunia luar dihuni oleh kabilah Ghifar. Kehidupan kabilah ini bergantung pada semacam pungutan (memeras ugut) yang dikenakan terhadap kafilah-kafilah dagang Quraisy yang berulang alik dari dan ke arah Shams. Kadangkala, bila kafilah dagang yang lalu itu tak mahu memberi, kabilah Ghifar merompak mereka.

Tersebutlah Jundub bin Jundah yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Dzar. Dia adalah seorang putra Ghifar yang terkemuka karena keberanian, kecerdasan, dan wawasan berfikirnya yang luas.

Dada Abu Dzar terasa sesak menyaksikan kaumnya menyembah patung-patung tidak bernyawa. Dia mengecam akidah bangsa Arab yang rosak ini dan selalu berharap akan datangnya seorang nabi baru yang mampu mengisi akal dan hati mereka dengan cahaya kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kegelapan.

Akhirnya sampai juga ke telinga Abu Dzar berita bahwa seorang nabi baru telah muncul di kota Mekah. Dia segera berkata kepada saudaranya, Anis,
“Saudaraku, pergilah ke kota Mekah untuk mencari berita tentang orang yang mengaku sebagai nabi yang menerima wahyu dari langit itu. Dengarlah apa yang diserukannya lalu ceritakan padaku.”
Anis segera berangkat ke Makkah. Di sana dia berpeluang bertemu dengan Rasulullah SAW dan mendengar seruannya. Setelah itu dia segera pulang, dan disongsong oleh Abu Dzar dengan berdebar-debar.

Kata Anis, 
“Demi Allah, aku melihat seseorang yang mengajak pada keluhuran budi dan akhlak. Kata-kata yang diucapkannya bukanlah syair.”
Kata Abu Dzar,
“Demi Allah, engkau tidak memuaskan hati aku dan tidak menyampaikan apa yang aku perlukan. Begini saja, mahukah engkau menanggung keluargaku untuk sementara waktu? Aku ingin menjumpai dan bercakap-cakap dengan nabi itu.
Pesan Anis,
“Baik. Tapi berhati-hatilah, jaga dirimu dari penduduk kota Mekah,”
Abu Dzar segera menyiapkan perbekalan. Dengan membawa qirbah (tempat air terbuat dari kulit binatang) kecil dia berangkat ke Mekah keesokan harinya. Hatinya sudah tekad. Dia mesti bertemu dengan nabi dan menanyakan tentang apa yang diserukannya.

Singkat cerita, Abu Dzar sampai di kota Mekah. Dia telah banyak mendengar berita tentang keganasan Quraisy terhadap orang-orang yang ingin menjadi pengikut Muhammad SAW. Oleh kerana itu dia takut dan tak mahu bertanya kepada siapapun tentang Muhammad SAW, sebab dia tak tahu apakah yang ditanya itu sahabat Muhammad SAW atau justeru musuhnya.

Ketika malam tiba Abu Dzar tidur di masjid. Kebetulan tak lama berselang Ali bin Abi Thalib berlalu di depan masjid. Dalam sekejap Ali tahu bahwa Abu Dzar adalah pendatang dari luar kota sehingga dia berkata,
“Saudara, mari menginap saja di rumahku.”
Jadilah Abu Dzar menginap di rumah Ali malam itu. Pagi harinya dia membawa qirbah dan kantung makanannya untuk kembali ke masjid bersama si tuan rumah. Namun kedua orang itu tidak saling menanyakan urusannya.

Sampai hari kedua Abu Dzar belum juga mendapatkan keterangan tentang Nabi Muhammad SAW. Maka ketika senja turun dia pergi ke masjid untuk tidur. Seperti kemarin, Ali bin Abi Thalib melewati masjid, lalu bertanya, 
“Kamu belum pulang?”
Seperti kelmarin pula, malam itu Abu Dzar kembali menginap di rumah Ali. Begitu pun keduanya tetap tidak saling bertanya atau memperkenalkan diri.

Pada malam yang ketiga, akhirnya Ali bertanya kepada tamunya,
“Apa sebenarnya keperluan kamu di Mekah ini?”
Abu Dzar menjawab dengan hati-hati,
“Pertama-tama, berjanjilah dahulu bahwa engkau mahu memberikan keterangan yang aku perlukan.”
Setelah Ali memberikan janjinya, baru Abu Dzar berterus terang,
“Sebenarnya kedatanganku ke mari ini dari suatu tempat yang jauh adalah untuk menjumpai nabi baru itu. Aku ingin mendengar tentang sesuatu yang dia bawa.”
Mendengar itu wajah Ali mencerminkan kegembiraan. Dia menuturkan dengan berswmangat, 
“Demi Allah, beliau benar-benar Rasul Allah. Biasanya beliau begini dan begitu … Esok pagi engkau boleh ikut aku. Nanti bila ada hal-hal yang terlihat mencurigakan, aku akan berhenti dan pura-pura buang air. Bila aku berjalan lagi, teruslah mengikuti. Dan bila aku memasuki sebuah rumah, masuklah juga.”
Malam itu Abu Dzar tidak mampu menutupkan mata sedikitpun kerana rasa rindu yang meluap-luap untuk berjumpa dengan nabi dan mendengarkan wahyu Allah.

Pagi harinya mereka berdua berangkat ke rumah Rasulullah. Abu Dzar berjalan agak jauh di belakang Ali. Jalan yang mereka tempuh lurus saja, tidak berbelok ke kanan ataupun ke kiri, sampai akhirnya memasuki sebuah rumah.

Begitu melihat Nabi Sholallohu 'alaihi wassalam, Abu Dzar memberi salam, 
“Assalamu 'alaika, ya Rasulullah.”
Rasulullah menjawab,
“Wa 'alaikassalamullahi wa rahmatuhu wa barakatuh.”
Abu Dzar-lah orang pertama yang memberi salam kepada Rasulullah dengan cara demikian. Ucapannya itu kemudian menjadi salam Islam dan ditiru oleh semua muslimin.

Rasulullah kemudian menyeru Abu Dzar ke dalam Islam. Beliau membacakan dan mengajarinya Al-Qur'an. Sebelum meninggalkan tempat itu, Abu Dzar telah mengucapkan syahadah dan rasmi memeluk Islam. Dia menjadi orang keempat atau kelima yang melakukannya.

Berikut penuturan Abu Dzar,
”…Setelah itu aku tinggal bersama Rasulullah di Mekah. Beliau mengajariku dinul (agama) Islam dan membacakan Al-Qur'an. Beliau juga berpesan, “Jangan sekali-kali engkau berterang-terangan tentang Islam di kota Mekah ini. Aku khuatir orang-orang akan membunuhmu.”
Kataku, 
“Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, saya tidak akan meninggalkan Mekah sebelum pergi ke masjid dan mengumandangkan kebenaran Islam di tengah-tengah masyarakat Quraisy.”
Rasulullah berdiam diri mendengar kekerasanku.

Lalu aku pergi ke masjid. Orang-orang Qurasy sedang duduk-duduk sambil berbua-bual. Di tengah-tengah mereka aku berdiri dan berteriak sekeras-kerasnya, 
“Hai orang-orang Quraisy, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Mereka terperanjat, dan sedetik kemudian semua bangkit dari duduknya dan menyerbu ke arahku.
“Ajar saja orang ini! Dia telah keluar dari agamanya!” 
Di sana-sini terdengar teriakan.

Orang-orang segera menghujaniku dengan pukulan-pukulan keras tanpa kasihan. Mungkin aku akan mati kalau saja Abbas bin Abdul Muthalib tidak segera datang. Dia berusaha melindungiku dan mengherdik para pemukulku,
“Celakalah kalian! Kalian hendak membunuh seorang Ghifar, padahal kafilah kalian harus melewati perkampungan Ghifar?!”
Mendengar itu, baru mereka berhenti.

Setelah siuman, aku pergi menjumpai Rasulullah. Melihat keaadanku, beliau berkata,
“Bukanlah aku telah melarangmu mengumumkan Islam?”
Kataku,
“Ya Rasulullah, niat dalam hati saya telah terpenuhi.” Beliau berkata lagi, “Pulanglah ke tempat kaummu dan beritakan apa yang kau lihat dan kau dengar di sini. Serulah mereka ke dalam agama Allah. Semoga dia memberi petunjuk kepada mereka melalui engkau dan memberikan pahala kepadamu. Bila kau dengar posisi Islam dalam masyarakat sudah kokoh, datanglah kembali kepadaku.”
Aku pun pulang sesuai dengan perintah Rasulullah. Saudaraku Anis menyongsong seraya bertanya, 
“Apa saja yang telah kau lakukan?”
Jawabku, 
“Aku memeluk Islam dan aku mempercayai Rasulullah,”
Allah membukakan hati Anis sehingga dia berkata,
“Aku tidak suka kepada agamaku. Aku menyatakan Islam dan membenarkan dakwah Rasulullah.”
Kemudian kami berdua menjumpai Ibu dan mengajaknya masuk Islam. Dia berkata, 
“Aku tidak suka kepada agamaku. Aku juga menyatakan Islam.”
Sejak hari itu, keluarga yang beriman ini bergerak memperkenalkan Islam di daerah Ghifar tanpa jemu-jemu sehingga banyak penduduk Ghifar yang masuk Islam. Solat lima waktu pun aktif dilakukan di masjid-masjid.

Segolongan orang berkata,
“Sementara ini kita bertahan dalam agama kita. Nanti bila Rasulullah ke kota Madinah baru kita nyatakan keislaman kita di depan beliau.”
Begitulah. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, mereka semua menyatakan keislamannya. Beliau berkata, 
"Ghifar, semoga Allah mengampuni mereka. Aslam, semoga Allah memberi mereka keselamatan..”
Abu Dzar tetap tinggal didusunnya sampai tercetusnya perang Badar, Uhud dan Khandaq. Sesudah itu dia pergi ke Madinah dan minta izin untuk menyertai Rasulullah dan melayani semua keperluan beliau. Sebaliknya, Rasulullah juga mengutamakan dan menghormati Abu Dzar. Setiap kali berjumpa, beliau pasti menjabat tangan Abu Dzar erat-erat sambil tersenyum menunjukkan kegembiraan.

+++

Diceritakan dalam riwayat yang berbeda oleh Ibn Al-Mubarok dalam dua kitabnya Al-Birr dan As-Shalah bahwa terjadi ketidaksepakatan antara Abu Dzar dan Bilal. Abu Dzar kemudian berkata kepada Bilal,
“Hei anak budak hitam”.
Rasulullah yang mendegar ini sangat marah, lalu beliau mengingatkan Abu Dzar dengan sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar,
"Engkau! Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliah!"
Peringatan Rasulullah ini meninggalkan pengaruh yang teramat dalam pada diri Abu Dzar. Beliau kemudian meletakkan kepalanya di tanah dan bersumpah bahwa beliau tidak akan mengangkatnya sebelum Bilal menginjakkan kakinya di atas kepalanya.

Tentunya Bilal tidak melakukan apa yang dimahukan oleh Abu Dzar, sebaliknya dia berkata kepada Abu Dzar,
"Aku memaafkan Abu Dzar, Ya Rasulullah. Dan Biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak."
+++

Setelah Rasulullah pulang ke rahmatullah, Abu Dzar tidak lagi merasa sanggup tinggal di Madinah. Dia pindah ke Syam, dan tinggal di sana selama masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Al-Faruq, Umar bin Khathab.

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Abu Dzar pindah ke Damsyik. Di kota ini dilihatnya betapa kaum muslimin tenggelam dalam kemewahan dan sangat condong pada dunia. Kondisi ini sangat mengejutkan Abu Dzar.

Suatu kali Khalifah Utsman memanggilnya agar kembali ke Madinah. Abu Dzar segera memenuhi panggilan itu. Tapi lagi-lagi disini dia menjumpai kondisi yang sama. Kini hatinya cemas melihat manusia begitu cenderung kepada dunia. Sebaliknya, orang-orang merasa sesak menghadapi kekerasan hati Abu Dzar yang tak bosan-bosannya memperingatkan mereka dengan kata-kata pedas.

Khalifah kemudian menyarankan agar Abu Dzar bermukim di Arrabdzah, sebuah desa kecil yang masih wilayah Madinah. Abu Dzar menyetujui dan berangkat dengan segera. Dia hidup jauh dari manusia, zuhud terhadap kekayaan, tak mengirikan harta benda yang berada di tangan orang lain, berpegang pada cara hidup Rasulullah dan kedua sahabatnya yang mulia. Dia mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana.

Suatu hari seorang lelaki berkunjung ke rumah Abu Dzar. Melihat rumahnya kosong melompong, tamu itu bertanya, 
“Wahai Abu Dzar, di mana gerangan perabot-perabot rumah anda?”
Jawab Abu Dzar, 
“Kita punya rumah di kampung sana (maksudnya kanpung akhirat) sehingga perabot-perabot yang terbaik kukirimkan ke sana.”
Tamu itu mengerti maksudnya. Katanya lagi, 
“Tapi Anda juga mesti memiliki perabot selama berada di kampung yang sekarang.”
Jawab Abu Dzar, 
“Tapi si empunya rumah tidak mengizinkan kita menetap di rumah yang ini (si dunia),”
Pernah gabernor Syam mengirimkan uang tiga ratus dinar kepada Abu Dzar disertai ucapan,
“Pergunakanlah wang ini untuk keperluan Anda.”
Abu Dzar mengembalikan seluruhnya seraya berkata
“Apakah Tuan Gabenor tidak menemukan seorang hamba yang lebih miskin dari saya?”
+++

Pada tahun 32 H, malaikat maut telah menjemput seorang zuhud yang tekun beribadah yang dikatakan oleh Rasulullah,
“Tidak ada di atas bumi dan di bawah langit orang yang lebih jujur daripada Abu Dzar.”
Dan,
"Semoga Allah menyayangi Abu Dzar. Dia berangkat sendirian. Dia mati sendirian. Dia dibangkitkan sendirian."

1) Sosok Para Sahabat Nabi, DR. Abdurrahman Ra'fat Al-Basya, Cetakan I, Oktober 1996, CV.Pustaka Matiq 


"Study week!!"
khir al-imtiaz
2 Mei 2011
1041am

Comments

  1. "Aku memaafkan Abu Dzar, Ya Rasulullah. Dan Biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak."

    alhamdulillah,post ini telah menegur saya indirectly.
    bila kita memaafkan seseorang, insyaallah ada unsur positif yang akan masuk dalam diri kita
    begitu juga di lapangan dakwah...
    jatuh bangunnya sesuatu management bukan disebabkan oleh gerak kerja .. tetapi bermula dari kader2 nya

    lillahi Taala..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Rasa Semakin Jauh dari Allah?

Mereka yang Mengabaikan Al-Quran

Merasakan Hidup Tidak Bermakna?